Jumat, 04 April 2014

Hukum Karma (Hukum Sebab Akibat)

Attana hi katam pipam, attana samkilissati
attana akatam papam, attanava visujjhati
suddhi asuddhi paccattam, nanno annanam visodhaye."
"Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seseorang pun yang dapat menyucikan orang lain."
Sabbe satta kammasakka, kammadayada, kammayoni, kammabandhu, kammapatisarana, yam kammam karissanti, kalyanam va papakam va, tassa dayada bhavissanti (semua mahluk adalah pemilik perbuatan mereka sendiri, terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri, lahir dari perbuatan mereka sendiri, berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, tergantung pada perbuatan mereka sendiri. Perbuatan apa pun yang mereka lakukan, baik ataupun buruk, perbuatan itulah yang akan mereka warisi).
Hukum Kamma adalah hukum yang menyatakan bahwa suatu perbuatan akan menghasilkan akibat yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Barang siapa yang berbuat kebaikan akan mendapat kebaikan dan barang siapa yang berbuat jahat akan mendapat akibat yang menyakitkan. Hukum Kamma mengajarkan kita bahwa setiap mahluk bertanggungjawab atas perbuatannya masing-masing.Sesuai dengan benih yang ditabur
Begitulah buah yang akan dipetiknya
Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan
Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula
Taburkanlah biji-biji benih, dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah daripadanya
(Samyutta Nikaya)
Ada karma baik dan ada karma jahat bila tiba saatnya akan matang sendiri ibarat apa yang kita tanam itu yang akan kita petik dikemudian hari....
(Sutta Nipata 663-664)
Renungan :
Karma itu, seperti buah yg tergantung pada cabang pohon.
Menunggu kematangannya pada waktu yg tepat, pada kondisi yg tepat.
Dan saat buah itu matang, ia akan jatuh menghantam tanah dibawahnya.
Sekeras apa buah itu menghantam tanah, tergantung seberapa berat dari buah itu sendiri. Seberat apa karma yg berbuah, sesakit apa derita yg hrs kita rasakan, tergantung dari berat karma yg telah kita lakukan. Tidak lebih, tidak kurang.
Lalu apa yg harus kita lakukan?
Apakah tidak ada cara utk menghapus karma?
Kita tidak bisa menghapus karma dalam sekejap,
tapi bisa membuatnya menjadi lebih ringan.
Perbanyaklah berbuat kebajikan.
Sekecil apapun kebajikan itu, jika dilakukan dgn hati tulus, akan lebih besar karma baiknya.
Seperti halnya segelas air garam yg sangat asin,
Jika ditambah dgn air tawar, sampai gelas itu tak mampu lagi menampung.
Dan air mulai berceceran keluar, lama kelamaan air yg asin akan mengalir keluar dan yg tersisa di gelas hanyalah air tawar saja.
Seperti itulah seharusnya yg kita lakukan dalam kehidupan kali ini.
Entah sudah berapa karma buruk yg telah kita lakukan.
Dan skrg, di kehidupan ini, di saat kita berkesempatan bertemu dengan hukum buddha ini,
seharusnya kita banyak berbuat kebajikan utk mengurangi karma-karma buruk kita.
Dan ingatlah, jika ada karma buruk yg terjadi pada Anda, janganlah membalasnya,
krn disaat Anda gak bisa terima, kesal, benci dan marah, disitu karma baru diciptakan.
Mungkin kedengarannya sangat susah utk dijalankan.
Seberapa banyak dari kita yg bisa tetap baik dan bersahabat dgn org yg telah mencuri, menipu, memfitnah kita atau menyakiti kita?
Tapi pernahkah kita mencoba utk tetap bertahan tdk membalas, mencoba utk mengontrol perasaan kecewa dan marah?
Cobalah sekali saja, tutup rapat-rapat mulut kita disaat hendak marah, kita akan tau, mengalahkan diri sendiri jauh lebih susah daripada mengalahkan sepuluh ribu musuh..

Senin, 31 Maret 2014

Empat Kebenaran Mulia

Empat Kebenaran Mulia (Pali : cattāri ariyasaccāni) adalah kebenaran absolut atau mutlak yang berlaku bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, maupun agama. Mengakui atau tidak mengakui, suka atau tidak suka, setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini.
Empat Kebenaran Mulia ditemukan oleh Pertapa Siddhartha yang bermeditasi di bawah Pohon Bodhi hingga memperoleh Penerangan Sempurna dan menjadiBuddha. Empat Kebenaran Mulia yang ditemukan itu diajarkan oleh Buddha Gotama kepada umat manusia di Bumi ini. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan tetap ada dan berlaku secara universal.
Empat Kebenaran itu adalah:
  1. Kesunyataan tentang adanya Dukkha (Dukkha)
  2. Kesunyataan tentang sebab Dukkha (Dukkha Samudaya)
  3. Kesunyataan tentang lenyapnya Dukkha (Dukkha Niroda)
  4. Kesunyataan tentang jalan berunsur 8 menuju akhir Dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga)

Dukkha

Berbagai bentuk penderitaan yang ada di dunia ini dapat dirangkum ke dalam tiga bagian utama atau kategori, yaitu:
  1. Penderitaan Biasa (Dukkha-Dukkha), misalnya sakit flu, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.
  2. Penderitaan karena Perubahan (Viparinama-Dukkha), misalnya berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, tidak tercapai apa yang diinginkan, sedih, ratap tangis, putus asa, dan sebagainya.
  3. Penderitaan karena memiliki Badan Jasmani (Sankhara-Dukkha), yaitu penderitaan karena kita lahir sebagai manusia, sehingga bisa mengalami sakit flu, sakit gigi, sedih, kecewa, dan sebagainya.

Dukkha Samudaya

Ketiga macam penderitaan di atas tentu tidak muncul begitu saja, tetapi karena ada sebab yang mendahului, BUKAN asal mula. Karena disebut dengan SEBAB, maka hal itu tidak dapat diketahui awal dan akhirnya. Sebab penderitaan itu adalah karena manusia diliputi Keserakahan, Kebencian dan Kegelapan Batin, sehingga mengakibatkan kelahiran yang berulang-ulang dari masa ke masa dari satu alam ke alam berikutnya.
Manusia banyak yang tidak menyadari bahwa ada kebebasan dari semua bentuk penderitaan yang dapat dicapai ketika masih hidup. Mereka kebanyakan melekat pada kesenangan-kesenangan nafsu indera, menghancurkan kehidupan makhluk lain, menganut pandangan salah yang menyesatkan banyak orang dan menjanjikan kebahagiaan semu dan sementara, hidupnya tidak diarahkan dengan baik, tidak membuka diri untuk belajar lebih dalam tentang kebenaran universal, menjadi orang dungu yang hanya tahu tapi tidak mempraktikkan apa yang ia ketahui, menjadi orang bodoh yang tidak mampu membedakan kebaikan dan kejahatan. Inilah sebab penderitaan yang menyelimuti kebanyakan umat manusia, yaitu Nafsu yang tiada henti (Tanha), dan Avijja (kebodohan batin) yang menjadi sebab kelahiran berulang-ulang bagi dirinya.

Dukkha Niroda

Sebagaimana kesakitan akan sembuh manakala sebabnya telah diketahui dan diberikan obat yang tepat, demikian pula penderitaan seseorang juga dapat dihentikan dengan mempraktikkan cara-cara yang benar dan berlaku secara universal. Kebahagiaan akan dicapai manakala ia terbebas dari penderitaan itu. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan sejati, di mana tidak akan diketahui ke mana perginya seseorang yang telah bebas dari derita batin dan jasmani. Inilah kebahagiaan Nibbana. Kebahagiaan yang dapat dicapai BUKAN setelah meninggal dunia saja, tetapi juga ketika masih hidup di dunia ini.
Nibbana bukanlah suatu tempat, melainkan keadaan di mana seseorang mempunyai pikiran yang sangat jernih yang telah terbebas dari sifat serakah, benci, dan gelap batin. Ia dapat mencapainya ketika masih memiliki badan jasmani. Sebagaimana perjuangan Pangeran Siddhartha untuk mencari jalan keluar dari fenomena usia tua, sakit dan kematian hingga menjadi Buddha, maka seperti itulah seseorang dengan sekuat tenaganya sendiri berusaha mengikis habis sifat-sifat jahat yang ada dalam dirinya, mengikis habis ego dalam dirinya, mengikis habis nafsu-nafsu indera, dan memunculkan kebijaksanaan paling tinggi dalam kehidupannya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai Orang Suci meskipun masih bergaul dengan banyak orang dan berpenghidupan di masyarakat luas. Kelak ketika ia meninggal dunia, maka tidak akan ada lagi orang yang mengetahui ke mana ia pergi, karena Nibbana bukanlah suatu tempat. Sebagaimana api itu ada, namun tidak seorang pun yang dapat mengetahui ke mana perginya api setelah padam.
Jika diibaratkan sebuah lilin yang menyala, apinya adalah kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin dan batang lilin adalah badan jasmani, maka ketika nyala lilin padam bersamaan dengan habisnya batang lilin yang terbakar, saat itulah fenomena-fenomena selanjutnya dari lilin tersebut tidak dapat diketahui oleh siapa pun.
Inilah gambaran Nibbana secara sederhana.
Jadi sangat mungkin Kebahagiaan Sejati dapat dicapai bukan setelah meninggal dunia, tetapi juga ketika masih hidup.

Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga

Cara melenyapkan Dukkha adalah dengan memiliki 8 unsur berikut (disebut juga Jalan Mulia Berunsur Delapan):
  1. Pengertian Benar (sammä-ditthi)
  2. Pikiran Benar (sammä-sankappa)
  1. Ucapan Benar (sammä-väcä)
  2. Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
  3. Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
  • Konsentrasi (Pali: Samädhi)
  1. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
  2. Perhatian Benar (sammä-sati)
  3. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Kisah Asmara Buddhis dalam Film Indie ”The Fourth Noble Truth”

Bhagavant.com,
California, Amerika Serikat – Empat Kebenaran Mulia yang merupakan inti ajaran Buddha, menjadi inspirasi bagi sebuah film independen produksi produser Hollywood, yang tayang perdana di Festival Film Internasional Sonoma Ke-17 pada Kamis, 3 April 2014.
Film yang bertajuk ”The Fourth Noble Truth” (Empat Kebenaran Mulia – red) tersebut dibintangi oleh Harry Hamlin yang berperan dalam serial TV “Mad Men” dan film TV “You Lucky Dog“, dan Kristen Kerr yang berperan di film “The Package” dan “Inland Empire“.
Harry Hamlin  (kanan) dalam pengambilan gambar untuk film indie ”The Fourth Noble Truth”. Foto: thefourthnobletruth.com
Harry Hamlin (kanan) dalam pengambilan gambar untuk film indie ”The Fourth Noble Truth”. Foto: thefourthnobletruth.com
Dengan bergenre drama dewasa, film tersebut ditulis dan disutradarai oleh Gary T. McDonald (sutradara “Sea Wolf 1997“) dan diproduksi oleh David Kohner Zuckerman dan Jillian Stein untuk rumah produksi DKZ Film bekerja sama dengan Jim Whelehan Sun-Spot Productions.
Film “The Fourth Noble Truth” merupakan sebuah kisah asmara yang unik dilatarbelakangi seputar ajaran Buddha mengenai Empat Kebenaran Mulia, yang tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada orang-orang jalan spiritual akan pemenuhan dan kebahagiaan. Sebagai penulis naskah dan sutradara, Gary T. McDonald terinspirasi dan didukung oleh All One Dharma, kelompok meditasi di Santa Monica, California, di mana dia berlatih dan mempelajari ajaran Dharma.
“Beberapa anggota kelompok mendengar naskah tersebut, membaca dan menganjurkan – sebagian dapat dikatakan mendesak – saya untuk membuat film tersebut,” kata McDonald seperti yang dilansir PR Newswire, Rabu (19/3/2014).
“Tapi itu bukan hanya sekedar perbincangan – mereka mendukung, memberikan kontribusi bakat dan sumber daya mereka di setiap langkah dalam perjalanan. Dan sekarang, saya pikir, mereka sangat bangga dengan upaya kami. Sebagai penulis/sutradara, Anda tidak sering.. mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada sebuah film yang dimaksudkan dapat ’mengubah dunia’. Banyak orang yang tidak bahagia di luar sana dan saya pikir film ini menunjukkan kepada mereka arah yang benar untuk mengatasi ketidakbahagiaan tersebut. Jika hal ini berhasil, kita telah membuat sebuah perbedaan,” jelasnya.
Dalam film “The Fourth Noble Truth“, dikisahkan seorang bintang film bernama Aaron (Harry Hamlin), ditangkap karena melakukan kekerasan di sebuah jalan. I dikirim ke seorang guru meditasi bernama Rachel (Kristen Kerr) oleh pengacaranya yang mengetahui bahwa hal ini akan memberi kesan baik kepada juri pengadilan yang merupakan salah satu dari murid guru meditasi tersebut.
Tertarik dengan Rachel, Aaron menggunakan setiap pesonanya, bakat aktingnya dan tipu daya untuk memanipulasinya agar Rachel melakukan apa yang ia inginkan. Meskipun juga terjadi pergolakan batin dalam diri Rachel, pada akhirnya ia tetap berpendirian dengan menunjukkan kepada Aaron bahwa pola narsis-nyalah yang merupakan penyebab ketidakbahagiaan.
Aaron kembali ditangkap lagi. Begitu ia bebas, ia mencoba untuk meyakinkan Rachel bahwa ia telah berubah.
Film tersebut terdiri dari delapan bagian. Setiap bagiannya mencerminkan salah satu dari Jalan Utama Berunsur Delapan, sebuah jalan yang terdapat dalam Empat Kebenaran Mulia.[Bhagavant, 31/3/14, Sum]

BERGANTUNGLAH KEPADA DIRIMU SENDIRI

Sang Buddha mengajarkan bahwa mereka yang ingin memahami, harus menyadari kebenaran bagi diri mereka sendiri. Dengan demikian, tidak jadi soal apakah orang lain mengkritik atau memujimu. Apapun yang mereka katakan, anda tidak akan terganggu. Jika seseorang tidak mempunyai kepercayaan terhadap dirinya sendiri, maka ketika seseorang mengatakan ia buruk, ia akan merasa buruk sesuai dengan yang di katakan.
Buang-buang waktu saja! Jika seseorang mengatakanmu jelek, periksa saja dirimu. Jika mereka tidak benar, jangan hiraukan, jika mereka benar, belajarlah dari mereka. Dalam dua kasus ini, mengapa harus marah? Jika anda dapat melihat segala sesuatu seperti ini, anda benar-benar akan berada dalam kedamaian.
Tidak akan ada yang salah, yang ada hanya Dhamma. Jika anda betul-betul menggunakan alat yang di berikan oleh Sang Buddha, anda tidak perlu merasa iri terhadap orang lain. Oleh karena itu, orang yang malas hanya ingin mendengarkan dan percaya, anda akan bisa mandiri, mampu untuk menghidupi diri sendiri dengan usaha sendiri.
Berlatih dengan hanya menggunakan sumber-sumber anda sendiri adalah menyulitkan, karena mereka adalah milikmu sendiri. Anda pernah berpikir bahwa latihan adalah sulit karena anda menentang, menyerobot kebaikan-kebaikan orang lain. Kemudian Sang Buddha mengajarkan untuk bekerja sendiri, dan anda berpikir bahwa semuanya akan beres. Sekarang anda menemukan bahwa ini pun masih menyulitkan, maka Sang Buddha mengajarkan anda lebih lanjut. Jika anda melekat dan menggenggam api di rumahmu sendiri, itupun akan terasa panas. Jadi jangan menggenggam pada apapun.
Beginilah cara saya berlatih, apa yang disebut sebagai cara yang langsung. Saya tidak berdebat dengan siapapun. Jika anda membawa kitab-kitab atau ajaran psikologi untuk berdebat dengan saya, saya tidak akan berdebat. Saya hanya akan menunjukkan kepada anda hukum sebab-akibat, supaya anda bisa mengerti kebenaran dari latihan. Kita semua harus belajar untuk bergantung kepada diri kita sendiri.
Oleh : Venerable Ajahn Chah

Minggu, 30 Maret 2014

Apa Itu Kamma?

Secara harfiah, istilah pali “kamma” berarti tindakan atau perbuatan. Semua tindakan yang disengaja, baik secara mental, verbal, maupun fisik, dianggap sebagai kamma. Hal ini meliputi semua yang termasuk dalam ungkapan “pikiran, ucapan, dan perbuatan”. Dalam pembicaraan umum, semua tindakan baik dan buruk disebut sebagai kamma. Akan tetapi dalam pengertian sebenarnya, kamma berarti semua kehendak yang bermoral maupun yang tidak bermoral. Tindakan yang dilakukan secara tidak sengaja, diluar kemauan, atau tanpa disadari, meskipun secara teknis dinyatakan sebagai perbuatan, tidak termasuk kamma karena kehendak –faktor terpenting dalam menentukan kamma- tidak ada. Sang Buddha berkata : “Aku nyatakan, oh para Bhikkhu, bahwa kehendak adalah kamma. Dengan memiliki kehendak, seseorang melakukan perbuatan melalui badan jasmani, ucapan, dan pikiran”. (Ańguttara Nikāya)
Semua perbuatan disertai kehendak yang dilakukan oleh satu individu disebut Kamma. Pengecualian terjadi untuk para Buddha dan Arahat karena mereka telah terbebas dari kebajikan dan kejahatan; mereka telah sepenuhnya menghancurkan ketidaktahuan dan kemelekatan yang merupakan akar dari kamma.
Dalam Ratana Sutta, Sutta Nipāta dinyatakan: “Dengan musnahnya semua bibit-bibit penjelmaan (Khińā bija); nafsu untuk memuaskan diri sendiri telah berakhir padam.” Hal ini tidak berarti bahwa para Buddha dan Arahat bersifat pasif. Mereka tanpa kenal lelah terus-menerus bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua mahluk. Tindakan yang mereka lakukan biasanya diterima sebagai kebajikan atau moralitas, bukan perbuatan yang berdasarkan kepentingan diri sendiri. Dengan memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, mereka telah menghancurkan secara total belenggu alam semesta –yaitu rangkaian sebab dan akibat.
Kamma tidak hanya berarti perbuatan masa lampau. Kamma meliputi perbuatan-perbuatan lampau dan perbuatan-perbuatan sekarang. Ada sebuah pengertian, kita yang sekarang adalah apa yang kita lakukan dulu; dan kita akan menjadi seperti apa yang kita lakukan sekarang. Tetapi dalam pengertian lain, harus ditambahkan bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya merupakan hasil dari apa yang telah kita lakukan dulu; dan kita yang akan datang juga tidak mutlak merupakan hasil dari apa yang kita lakukan sekarang. Saat sekarang tidak diragukan adalah hasil dari masa lampau, dan akan menentukan masa depan.
Akan tetapi saat sekarang tidak bisa dijadikan sebuah petunjuk yang benar mengenai masa lampau maupun masa depan. Demikianlah rumitnya kerja dari hukum Kamma. Salah satu contoh sebuah ajaran Kamma adalah ketika seorang ibu mengajarkan anaknya dengan berkata “Jadilah anak yang baik maka kamu akan bahagia dan kami akan mencintaimu; akan tetapi jika kamu nakal maka kamu akan tidak bahagia dan kami tidak akan mencintaimu”. Singkat kata, Kamma adalah hukum sebab akibat dalam dunia etika.
Judul asli: The Teory Of Kamma in Buddhism
Oleh: Y.M. Mahasi Sayadaw
Alih Bahasa: Marlin & Bodhi Limas
Editor: Y.M. Bhikkhu Abhipañño

Jumat, 28 Maret 2014

Manfaat Sila

Kalau kita mengamati ajaran Sang Buddha maka kita akan sampai pada satu kesimpulan pokok bahwa sesungguhnya ajaran Sang Buddha bukan hanya sekedar upacara sembahyang saja, atau bahan diskusi, bahkan bukan pula merupakan suatu pengetahuan umum. Tetapi lebih dari itu, ajaran Sang Buddha membutuhkan pelaksanaan di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam salah satu kotbahnya, Sang Buddha menyatakan: "Dhamma Care Sukham Seti", yang berarti: mereka yang melaksanakan Dhamma, merekalah yang akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya Dhamma adalah untuk dilaksanakan.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah pelaksanaan Dhamma itu? Sesungguhnya pelaksanaan ajaran Sang Buddha itu banyak dapat kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah melatih kesabaran. Walaupun kesabaran ini sering dikumandangkan di mana-mana, tetapi dalam pelaksanaannya hal tersebut seringkali menimbulkan pertentangan. Tentu bukanlah suatu hal yang mudah untuk melatih kesabaran di dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang masih muda dan penuh semangat. Sebaliknya apabila kita mampu mengolah dan menyalurkan energi dan semangat menjadi hal-hal yang positif maka hal tersebut akan bermanfaat sekali. Lalu bagaimanakah cara melatih kesabaran itu, terutama bagi kita yang masih muda? Salah satu cara sederhana yang telah menjadi petunjuk untuk melatih kesabaran adalah dengan melaksanakan "sila", 5 (lima) sila setiap hari dan 8 (delapan) sila pada hari-hari tertentu. Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan: Bagaimanakah hubungan sila dengan melatih kesabaran?
Untuk itu mari kita tinjau sila yang pertama. Sila yang pertama adalah tidak melakukan penganiayaan maupun pembunuhan terhadap makhluk- makhluk yang bernapas (mempunyai napas). Penganiayaan dan pembunuhan merupakan dua hal yang saling berdekatan. Pembunuhan yang tidak sukses disebut penganiayaan. Sebaliknya penganiayaan yang sukses disebut pembunuhan. Mengapa pembunuhan dan penganiayaan bisa mempunyai hubungan dengan kesabaran? Misalnya di rumah kita ada seekor kecoa; apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan menginjak kecoa itu ataukah kita biarkan saja? Ini adalah pilihan untuk mengukur sampai sejauh mana sila bisa kita laksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Sila yang dilaksanakan dengan baik akan menjadi "rem" otomatis untuk perbuatan-perbuatan kita, sehingga pelaksanaan sila pertama di dalam kehidupan sehari-hari dengan sendirinya merupakan suatu cara untuk melatih kesabaran.
Sila yang kedua adalah menghindari mengambil barang yang tidak diberikan dengan sah atau bukan miliknya. Ini pun ada hubungannya dengan melatih kesabaran. Misalnya kita tinggal di satu rumah kost, dan kebetulan teman sekamar kita sedang pulang kampung, padahal kita ingin meminjam pakaiannya. Akhirnya kita memakai pakaian tersebut tanpa sepengetahuannya. Setelah selesai, pakaian tersebut kita kembalikan seperti keadaan semula. Perbuatan meminjam pakaian teman kita itu dapat dikatakan termasuk pelanggaran sila kedua, karena perbuatan tersebut adalah mengambil barang yang tidak diberikan dengan sah dan tanpa izin. Jadi sila kedua tidak selalu berarti mencuri milik orang lain.
Sila yang ketiga adalah tidak melakukan pelanggaran kesusilaan. Di zaman yang serba canggih dan modern ini, orang seringkali ingin melangsungkan segala sesuatunya dengan serba cepat dan singkat. Bahkan hal tersebut sudah terkenal di kalangan generasi muda. Hubungan seks pranikah dan kehamilan usia remaja bukanlah suatu hal yang asing dan tabu lagi di zaman yang serba cepat ini. Kalau para generasi muda yang mempelajari sila di dalam agama Buddha masih bertingkah-laku demikian maka sesungguhnya sila ketiga ini baru sampai taraf ilmu pengetahuan saja, belum sampai pada pelaksanaan. Tetapi kalau kita mau melaksanakan sila, tentu kita akan berusaha untuk bersabar. Dan sila ini akan menjadi rem otomatis sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap kesusilaan. Ini adalah melatih kesabaran.

Demikian juga dengan sila yang keempat, yaitu menghindari ucapan yang tidak benar; misalnya dengan tidak berbohong. Contoh yang sederhana misalnya: setelah selesai kebaktian, kita ikut membereskan altar. Kita membantu membawakan barang-barang ke bawah. Tetapi ketika itu barang yang kita bawa jatuh menggelinding dan rusak. Kita kemudian ditanya: "Kamu membawanya tidak hati-hati, ya?" Apa jawaban kita? "O... tadi saya disenggol orang." Jawaban ini memberi kesan seolah-olah pada waktu memegang barang tadi, kita disenggol orang. Padahal kita disenggol orang ketika belum memegang apa-apa. Ini sebetulnya adalah suatu kebohongan. Mengapa kita berbohong? Mengapa kebohongan ini menjadi tidak sabar? Kita bohong karena kita takut dimarahi dan malu pada teman-teman yang lain. Hal inilah yang mendorong kita menjadi tidak sabar dan berbohong. Oleh karena itu melatih tidak berbohong, dengan mengatakan yang sejujurnya, hal tersebut sesungguhnya juga merupakan suatu cara untuk melatih kesabaran.
Sila yang kelima adalah menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesabaran. Bagaimanakah hubungan sila kelima ini dengan melatih kesabaran? Ada sebagian orang yang cenderung lari dari kenyataan apabila sedang menghadapi permasalahan yang berat, yang tidak bisa diselesaikan dengan segera, yaitu dengan jalan mabuk-mabukan. Karena mabuk-mabukan itu adalah salah satu cara untuk melarikan diri dari permasalahan. Tetapi kalau kita mau bersabar, berusaha menghadapi kenyataan sebagaimana adanya; sesungguhnya hal tersebut merupakan suatu latihan kesabaran.
Selanjutnya, sila yang keenam adalah menghindari makan-makanan setelah tengah hari. Batas waktu makan yang diberikan adalah antara pukul 06:00 pagi sampai dengan pukul 12:00 siang. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa selama jangka waktu tersebut lalu kita makan sesering mungkin. Bukan demikian, tetapi kita berusaha untuk menggunakannya sesedikit mungkin. Bahkan kadang-kadang digunakan hanya 2 kali saja, yaitu pukul 07:00 pagi dan pukul 11:00 siang.
Apa hubungannya melatih kesabaran dengan tidak makan?
Sebagai umat Buddha yang meyakini Hukum kelahiran kembali, sebetulnya kita sudah mengalami kelahiran berjuta-juta kali. Begitu pula halnya dengan kelaparan. Tentu sudah berjuta-juta kali pula kita merasakan lapar. Dengan mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang lampau; secara tidak langsung sebetulnya hal tersebut juga merupakan latihan untuk mengendalikan emosi. Mengapa demikian? Kalau kita mampu mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang lampau, mengapa kita tidak bisa menahan diri untuk tidak marah, misalnya. Dengan cara itu kita bisa menghadapi segala sesuatunya dengan tenang dan tidak emosi. Walaupun cara menahan makan ini merupakan suatu cara yang sederhana, tetapi cara ini ada kaitannya dengan kesabaran.
Kemudian sila yang ketujuh adalah melatih diri untuk tidak menggunakan wangi-wangian, tidak menggunakan perhiasan, tidak bersenang-senang, tidak bermewah-mewah. Demikian pula halnya dengan sila yang ke delapan yaitu mengurangi duduk dan berbaring di tempat yang mewah. Bagaimanakah hubungan sila ke tujuh dan sila ke delapan ini dengan melatih kesabaran? Kadang-kadang kita ingin menunjukkan 1 hal yang lebih kepada orang lain. Misalnya dengan memakai wangi-wangian. Tetapi kalau kita berusaha mengurangi ke-aku-an, yaitu dengan memakainya pada waktu-waktu tertentu saja, maka hal tersebut sesungguhnya merupakan suatu cara untuk melatih kesabaran. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa kita sebagai umat Buddha tidak boleh menggunakan wangi-wangian/perhiasan, tidak boleh bersenang-senang/bermewah-mewahan. Di sini kita perlu menyadari bahwa tidak setiap keinginan yang muncul harus dilaksanakan. Kadang-kadang ada keinginan yang harus kita tunda pelaksanaannya. Inilah yang disebut dengan melatih kesabaran.

Inilah cara-cara untuk melatih kesabaran, cara untuk melaksanakan ajaran Sang Buddha. Dengan menjalankan "sila"atau latihan kemoralan, yaitu 5 sila setiap hari dan 8 sila pada hari-hari tertentu misalnya pada hari uposatha setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan bulan/imlek, berarti Saudara berusaha untuk melatih kesabaran, mengurangi ke-aku-an, ketamakan, kebencian dan kegelapan batin.
Oleh karena itu, jadilah umat Buddha yang melaksanakan ajaran Sang Buddha. Bukan hanya menjadikan ajaran Sang Buddha sebagai pengetahuan umum, tetapi menjadikan ajaran Sang Buddha sebagai jalan hidup.

Sehingga akhirnya seperti sabda Sang Buddha: "Dhamma Care Sukham Seti", mereka yang melaksanakan Dhamma, merekalah yang akan memperoleh kebahagiaan. Dengan melaksanakan 5 sila setiap hari dan 8 sila pada hari-hari tertentu maka Saudara akan memperoleh kebahagiaan.

[Dikutip dari Website Samaggi-phala. WWW.Samaggi-Phala.or.id .]

Detik-detik menjelang Kematian

Oleh : Y.M.B. Kheminda. 




Aϑå 3 tanda menjelang detik-detik kematian seseorang, yaitu :

1. Kamma : Perbuatan...
Perbuatan 2x di masa lalu akan muncul seketika seakan 2x kita sedang melakukannya pada saat itu.

Org yg semasa hidupny bnyk melakukan perbuatan baik, akan mudah mengingat perbuatan2 baik yg pernah dlakukannya, ibarat pohon yg mengarah ke timur jika dtebang akan tetap mengarah ke timur, begitu pula lah pikiran mnjelang kematian.

Oleh karena itu, kalau menghadapi orang yg sedang menghadapi kematian, harus diingatkan perbuatan 2x baik yg pernah diperbuat "JANGAN" pernah menanyakan bagaimana keadaannya pada saat itu, karena yg bersangkutan akan semakin takut & cemas.

2. Kammanimitta
: Alat yg digunakan pada saat seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.

Maksudnya, semasa hidupnya dia menggunakan alat tersebut untuk melakukan perbuatan baik atau buruk.
Misalnya: seorang penjagal babi, ddetik2 mnjelang kematiannya melihat pisau.

3. Gattinimita
: Tempat yg akan dituju/dilahirkan, disanalah dia akan terlahir kembali.
Misalnya pada saat menjelang kematiannya, yg bersangkutan melihat api, berarti akan terlahir di alam "niraya : neraka".
Melihat hutan, akan trlahir sebagai asura: raksasa. Tetapi jika melihat kereta 2x kencana & "Bodhisattva : Makhluk luhur", yg bersangkutan akan terlahirkan di alam "sukkhavati : bahagia".

Orang yg takut menghadapi kematian adalah :

1. Orang yg tidak mampu melepaskan kesenangan 2x duniawi.

2. Orang yg tidak mampu melepaskan kemelekatan pada tubuh jasmani.

3. Orang yg belum pernah melakukan perbuatan 2x baik.

4. Orang yg belum memahami "dhamma : kebenaran".

Oleh karenanya persiapkanlah diri kita dengan kebajikan 2x, mis :
Berdana : amal, menjalankan sila : ber moral & meditasi untuk melatih kesadaran. 

Rabu, 19 Maret 2014

Pengertian, Faedah dan Cara Melaksanakan Bhavana

1. PENGERTIAN BHAVANA
Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.
2. FAEDAH BHAVANA
Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang yang melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari praktek meditasi itu adalah :
  1. Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan.
  2. Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).
  3. Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
  4. Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu.
  5. Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.
  6. Bagi orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.
  7. Bagi orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong dia utnuk memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang tidak ada gunanya.
  8. Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama.
  9. Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien.
  10. Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.
  11. Bagi orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang lebih mampu daripadanya.
  12. Bagi seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa ke tujuannya.
  13. Bagi orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, meditasi akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan yang baru bagi dirinya.
  14. Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya.
  15. Bagi orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang bahayanya sifat iri hati itu.
  16. Bagi orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.
  17. Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat dirinya.
  18. Bagi orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai taulannya.
  19. Bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya lagi.
  20. Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam persoalan-persoalan yang remeh.
  21. Selanjutnya, dalam agama Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana.
Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi.
Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.
3. CARA MELAKSANAKAN BHAVANA
Orang yang baru belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat, baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di tempat yang ramai.
Waktu untu melaksanakannya dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam hari antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu.
Orang bebas memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi setengah sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan, maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala harus tegak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan bersandar. Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan, disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring.
Sebelum melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam bermeditasi.
Pada saat hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selanjutnya, laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah dipilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini biasa, karena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh.
Pembagian Bhavana
Bhavana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
  1. Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin.
  2. Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang.
Diantara kedua jenis bhavana ini terdapat perbedaan. Perbedaan itu mencakup:
  1. Tujuannya Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di tanah. Dengan demikian, Samatha Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai berbagai kekuatan batin.Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan terakhir dari meditasi. Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang atau Vipassana Bhavana.
    Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana.
    Sesungguhnya “dalam kitab suci telah ditulis bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak dengan jalan lain”.
  2. Obyeknya Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamañña, satu aharapatikulasañña, satu catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau empat satipatthana.
  3. Penghalangnya Dalam melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan yang dapat menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa.
Samatha Bhavana
1. EMPAT PULUH MACAM OBYEK MEDITASI
Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang guru.
Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
  1. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
    1. Pathavi kasina = wujud tanah
    2. Apo kasina = wujud air
    3. Teja kasina = wujud api
    4. Vayo kasina = wujud udara atau angin
    5. Nila kasina = wujud warna biru
    6. Pita kasina = wujud warna kuning
    7. Lohita kasina = wujud warna merah
    8. Odata kasina = wujud warna putih
    9. Aloka kasina = wujud cahaya
    10. Akasa kasina = wujud ruangan terbatas
  2. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
    1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
    2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
    3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
    4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
    5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
    6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
    7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
    8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
    9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
    10. Atthika = wujud tengkorak
  3. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
    1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
    2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
    3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
    4. Silanussati = perenungan terhadap sila
    5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
    6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
    7. Marananussati = perenungan terhadap kematian
    8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
    9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
    10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana
  4. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :
    1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
    2. Karuna = belas kasihan
    3. Mudita = perasaan simpati
    4. Upekkha = keseimbangan batin
  5. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
  6. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
  7. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
    1. Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
    2. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
    3. Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
    4. Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan
Berikut penjelasan lebih mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas :
  1. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda)
    Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau segumpal tanah yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air yang ada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai api yang menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlobang. Dalam kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti bulatan dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah, atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain. Dalam kasina ruangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingnya seperti drum dan lain-lain.
    Disini, mula-mula orang harus memusatkan seluruh perhatiannya pada bulatan yang berwarna biru misalnya. Selanjutnya, dengan memandang terus pada bulatan itu, orang harus berjuang agar pikirannya tetap berjaga-jaga, waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda di sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja. Kini, walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan biru itu di dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari rembulan.
  2. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran)
    Dalam sepuluh asubha ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh yang telah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan tengkorak. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri, “Badanku ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihindari”. Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya obyek yang berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai mayat yang membengkak dan lain-lain.
  3. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan)
    Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.
    Dalam Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.
    Dalam Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat Ariya-Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak lurus, telah bertindak benar, telah bertindak patut, patut menerima persembahan, patut menerima tempat bernaung, patut menerima bingkisan, patut menerima penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta.
    Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah dilaksanakan, yang tidak patah, yang tidak ternoda, yang dipuji oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran.
    Dalam caganussati, direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan musnahnya kekikiran.
    Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk agung atau para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari perbuatan baik yang telah dilakukannya.
    Dalam marananussati, orang harus merenungkan bahwa pada suatu hari, kematian akan datang menyongsongku dan makhluk lainnya; bahwa badan ini harus dibagi-bagikan olehku kepada ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang lainnya yang hidup dengan ini; bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan, di mana, dan melalui apa orang akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menungguku setelah kematian.
    Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi kulit dan penuh kekotoran; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.
    Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas.
    Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran tumimbal lahir.
  4. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas)
    Empat appamañña ini sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman yang luhur). Dalam melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai dari dirinya sendiri, karena ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih sejati bila ia membenci dan meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang tua, guru-guru, teman-teman laki-laki dan wanita sekaligus.
    Akhirnya, yang tersulit adalah memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini mungkin timbul perasaan dendam atau sakit hati. Namun, hendaknya diusahakan untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang baik dari musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada padanya. Perlu diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih.
    Dalam karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan.
    Dalam mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan simpati kepada orang yang sedang bersuka-cita; ia turut berbahagia melihat kebahagiaan orang lain.
    Dalam upekkha-bhavana, orang akan tetap tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan rugi.
  5. Satu aharapatikulasañña (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
    Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (tinja) dan air seni (urine).
  6. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
    Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :
    1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain.
    2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
    3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.
    4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain.
  7. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi)
    Dalam kasinugaghatimakasapaññati, batin yang telah memperoleh gambaran kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa batas sambil membayangkan, “Ruangan! Ruangan! Tak terbatas ruangan ini!” dan kemudian gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan kepada ruangan yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus tanpa batas.
    Dalam akasanancayatana-citta, ruangan yang tanpa batas itu ditembus dengan kesadarannya sambil merenungkan, “Tak terbataslah kesadaran itu”. Ia harus berulang-ulang memikirkan penembusan ruangan itu dengan sadar, mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut.
    Dalam natthibhavapaññati, orang harus mengarahkan perhatiannya pada kekosongan atau kehampaan dan tidak ada apa-apanya dari kesadaran terhadap ruangan yang tanpa batas itu. Ia terus menerus merenungkan, “Tidak ada apa-apa di sana! Kosonglah adanya ini”.
    Dalam akincaññayatana-citta, orang merenungkan keadaan kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang penghabisan, yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada pencerapan lagi
2. LIMA MACAM NIVARANA DAN SEPULUH MACAM PALIBODHA

Lima macam nivarana

Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu:
  1. Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
  2. Byapada (kemauan jahat)
  3. Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
  4. Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran)
  5. Vicikiccha (keragu-raguan)
Untuk menaklukkan kelima rintangan tersebut, orang harus mengetahui sebab-sebab timbulnya nivarana dan berusaha menghindari sebab-sebab itu serta melakukan usaha-usaha yang dapat melenyapkan nivarana itu.
Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang indah, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari nafsu keinginan, hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi dengan memakai obyek yang kotor atau menjijikkan dan berusaha menghindari obyek-obyek yang bisa merangsang, berusaha untuk menguasai pikiran dan mengendalikan indriya-indriyanya, senantiasa berbicara tentang kesempurnaan hidup, tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan, kebebasan, bebas dari nafsu-nafsu.
Kemauan jahat (byapada) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya kebencian, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi cinta kasih, senantiasa ingat bahwa setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatannya sendiri.
Kemalasan dan kelelahan (thina-middha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan rasa segan, rasa malas, kelelahan, mengantuk sesudah makan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari kemalasan dan kelelahan, orang hendaknya senantiasa merenungkan suatu cahaya sampai terserap ke dalam batin, senantiasa melihat penderitaan di dalam ketidak-kekalan, senantiasa merenungkan ajaran-ajaran Sang Buddha dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan ketidak-tenteraman pikiran, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk mengatasi kegelisahan dan kekhawatiran, orang hendaknya senantiasa mempelajari dan memahami kitab suci Tripitaka, serta berusaha melaksanakan sila dengan sempurna.
Keragu-raguan (vicikiccha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan sesuatu yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari keragu-raguan, orang hendaknya senantiasa meneguhkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Sepuluh macam palibodha
Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :
  1. Avasa (tempat tinggal)
  2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
  3. Labha (keuntungan)
  4. Gana (murid dan teman)
  5. Kamma (pekerjaan)
  6. Addhana (perjalanan)
  7. Ñati (orangtua, keluarga, dan saudara)
  8. Abadha (penyakit)
  9. Gantha (pelajaran)
  10. Iddhi (kekuatan gaib)
Dalam melaksanakan meditasi, pada umumnya orang yang bermeditasi sering juga mendapat gangguan yang disebut palibodha. Ia merasa khawatir akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya. Ia merasa khawatir akan pembantunya dan orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya. Ia merasa khawatir akan persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya. Ia merasa khawatir akan murid-murid dan teman-temannya. Ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai. Ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya. Ia merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya. Ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit. Ia merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya. Ia merasa khawatir akan bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan kekuatan magisnya.
Palibodha ini harus dibasmi, agar orang dapat memusatkan pikiran dengan baik.
3. ENAM MACAM CARITA

Carita berarti sifat, perangai, atau perilaku.

Di dalam Abhidhamma, terdapat pembagian sifat-sifat secara umum yang berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya:
  1. Orang yang keras nafsu lobanya atau Ragacarita
  2. Orang yang keras kebenciannya atau Dosacarita
  3. Orang yang bodoh (dungu) atau Mohacarita
  4. Orang yang tebal keyakinannya atau Saddhacarita
  5. Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhicarita
  6. Orang yang suka melamun atau Vitakkacarita
Orang yang mempunyai ragacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan loba, cenderung ke arah keindahan dan kecantikan, kagum melihat suatu kebajikan walaupun itu kecil sekali, mudah melupakan kesalahan orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk mereka yang mempunyai ragacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.
Orang yang mempunyai dosacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebencian, cenderung ke arah panas hati, suka marah, suka jengkel, suka iri hati, tak senang melihat kesalahan walaupun kecil, tak mau tahu terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain. Untuk mereka yang mempunyai dosacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat appamañña dan empat kasina (nila kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina).
Orang yang mempunyai mohacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka khawatir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang mempunyai mohacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.
Orang yang mempunyai saddhacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan keyakinan, cenderung ke arah rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui orang-orang suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah enam anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, dan devatanussati).
Orang yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan berhati-hati, cenderung ke arah perenungan terhadap Tiga Corak Umum (Tilakkhana), sering bermeditasi, bersedia mendengarkan omongan orang lain, mempunyai kawan-kawan yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati, aharapatikulasañña, dan catudhatuvavatthana.
Orang yang mempunyai vitakkavcarita melaksanakan sesuatu berdasarkan tergesa-gesa, cenderung ke arah kegugupan, kegagalan dalam usaha, suka berteori, pikirannya sering berkeliaran, tidak suka bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita, maka obyek yang cocok untuk melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.
Penjelasan:
Pathavi kasina, apo kasina, tejo kasina, vayo kasina, aloka kasina, akasa kasina, dan empat arupa dapat dijadikan obyek meditasi oleh semua orang tanpa memperhatikan caritanya.
4. TIGA MACAM NIMITTA
Nimitta berarti suatu pertanda atau gambaran yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini ada tiga macam, yaitu :
  1. Parikamma-Nimitta (gambaran batin permulaan)
  2. Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai)
  3. Patibhaga-Nimitta (gambaran batin berlawanan)
Mengenai parikamma-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dengan mata, kemudian dibayangkan dalam pikiran. Jadi, parikamma-nimitta merupakan gambaran atau bentuk dari obyek dalam keadaan yang sebenarnya. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-nimitta.
Mengenai uggaha-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi dilihat dengan batin, hingga obyek itu melekat dalam pikiran. Jadi, uggaha-nimitta merupakan gambaran obyek di dalam batin yang sama dengan bentuk obyek yang dipakai, walaupun mata telah dipejamkan. Untuk mencapai uggaha-nimitta, semua obyek meditasi dapat dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana, yaitu keempat puluh obyek meditasi yang tersebut terdahulu.
Mengenai patibhaga-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi yang telah melekat pada pikiran, terpeta dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran obyek tersebut dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemauan. Jadi, patibhaga-nimitta merupakan gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk gambaran itu berubah menjadi sinar terang di dalam batinnya. Untuk mencapai patibhaga-nimitta, maka obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, dan satu anapanasati.
5. TIGA MACAM BHAVANA
Dalam meditasi, terdapat tiga macam tingkat perkembangan batin, yaitu :
  1. Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan)
  2. Upacara-Bhavana (perkembangan batin tingkat mendekati konsentrasi)
  3. Appana-Bhavana (perkembangan batin tingkat terkonsentrasi dengan kuat)
Dalam parikamma-bhavana, pikiran baru akan dipusatkan pada obyek. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-bhavana.
Dalam upacara-bhavana, pikiran telah siap untuk memasuki pemusatannya, dan mulai timbulnya patibhaga-nimitta. Dalam keadaan ini, nivarana telah dapat diatasi. Namun konsentrasi pikiran masih belum mantap. Hal ini dapat disamakan dengan anak kecil yang baru belajar berdiri, namun masih belum mantap, sering jatuh, tetapi ia terus berusaha. Untuk mencapai upacara-bhavana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah delapan anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, devatanussati, marananussati, upasamanussati), satu aharapatikulasanna, dan satu catudhatuvavatthana.
Dalam appana-bhavana, pikiran telah dapat tinggal diam dalam jangka waktu yang lama, menurut yang dikehendakinya, karena konsentrasi yang penuh dan mantap telah tercapai. Keadaan ini dapat diumpamakan sebagai orang yang telah dewasa yang telah dapat berdiri dengan kuat, tak jatuh-jatuh lagi. Di samping nivarana telah dapat diatasi, maka faktor-faktor jhana juga mulai timbul berperanan (vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata). Obyek-obyek yang dapat dipakai untuk mencapai appana-bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, satu anapanasati, empat appamañña, dan empat arupa.
6. PENGERTIAN JHANA
Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada obyek kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek yang kuat).
Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca indera. Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan tekun. Dalam keadaan ini, aktivitas panca indera berhenti, tidak muncul kesan-kesan penglihatan maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan badan jasmani. Walaupun kesan-kesan dari luar telah berhenti, batin masih tetap aktif dan berjaga secara sempurna serta sadar sepenuhnya.
Jhana hanya mampu menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin. Sewaktu-waktu jhana dapat merosot, karena jhana tidak kekal.
7. FAKTOR-FAKTOR JHANA
Di dalam memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberi corak dan suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana tersebut ada lima macam, yaitu :
  1. Vitakka, ialah penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
  2. Vicara, ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek dengan kuat.
  3. Piti, ialah kegiuran atau kenikmatan.
  4. Sukha, ialah kebahagiaan yang tak terhingga.
  5. Ekaggata, ialah pemusatan pikiran yang kuat.
Vitakka dan vicara adalah dua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan. Kedua keadaan ini dapat diumpamakan seperti bunyi lonceng. Pada waktu lonceng dipukul sekali, maka akan terjadi bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat terkena pukulan merupakan vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu merupakan vicara. Demikian pula ketika bermeditasi. Suasana pikiran pada saat permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan suasana pikiran yang telah berhasil memegang obyek dengan kuat disebut vicara.
Mengenai piti, sebenarnya secara terperinci terdapat lima macam. Namun, kiranya di sini tidak begitu perlu diuraikan.
Antara piti dan sukha terdapat pula perbedaan perasaan yang khas seperti berikut. Apabila seseorang yang sedang dalam suatu perjalanan merasa sangat haus, dan kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka ia akan merasa gembira, senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan ini merupakan piti, karena di sini kegiuran timbul akibat keterbatasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia meminum air itu, maka perasaan berobah menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha.
Dalam ekaggata, pikiran telah terpusat pada obyek dengan kuat, sehingga kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.
Vikkhambhana-Pahana adalah pembasmian nivarana dengan kekuatan jhana, yaitu dengan mengendapkan kekotoran batin. Selama jhana masih ada, selama itu pula nivarana tidak timbul. Tetapi, bila jhana merosot, maka nivarana akan timbul lagi.
Jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi thina-middha, vicara membasmi vicikiccha, piti membasmi byapada, sukha membasmi uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.
8. TINGKAT-TINGKAT JHANA
Menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat rupa jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat sembilan tingkat jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana. Dalam Abhidhamma, tingkatan rupa jhana ada lima, karena hal ini disesuaikan menurut keadaan, menurut bagian, dan jumlah kesadaran yang berada dalam rupavacara-citta, sebab kesadaran dari manda-puggala (orang yang tidak cerdas) tidak dapat melihat kekotoran dari vitakka dan vicara kedua-duanya ini sekaligus dalam waktu yang sama, hanya dapat membuang ‘keadaan batin’ satu persatu, yaitu dutiya-jhana membuang vitakka, dan tatiya-jhana membuang vicara. Tetapi, tikkha-puggala (orang yang cerdas) mampu menyelidiki dan melihat kekotoran dari vitakka dan vicara sekaligus dalam waktu yang sama, dan membuang vitakka dan vicara sekaligus. Karena itu, dalam Sutta Pitaka, tingkatan rupa jhana ada empat.
Tingkatan jhana, menurut Abhidhamma, terdiri atas :
  1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama.
    Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
  2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua.
    Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
  3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga.
    Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak, yaitu, piti, sukha, dan ekaggata.
  4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat.
    Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata.
  5. Pancama-Jhana, ialah jhana tingkat kelima.
    Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata.
  6. Akasanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang tanpa batas.
  7. Viññanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.
  8. Akincaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.
  9. Nevasaññanasaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
Tingkatan jhana, menurut Sutta Pitaka, terdiri atas :
  1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
  2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah piti, sukha, dan ekaggata.
  3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap, karena piti ini masih terasa kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah sukha dan ekaggata.
  4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai lenyap, karena faktor ini masih terasa kasar untuk jhana keempat. Di dalam jhana keempat ini hanya ada faktor ekaggata dan ditambah dengan upekkha (keseimbangan batin).
  5. Akasanancayatana-Jhana.
  6. Viññanancayatana-Jhana.
  7. Akincaññayatana-Jhana.
  8. Nevasaññanasaññayatana-Jhana.
Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.
Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga appamañña (metta, karuna, dan mudita).
Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha.
Untuk mencapai empat arupa jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat arupa.
Penjelasan :
Sepuluh kasina dan satu anapanasati dapat dijasikan obyek meditasi oleh semua orang untuk mencapai lima rupa jhana.
9. LIMA MACAM VASI
Vasi berarti keahlian atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana.
Jika seseorang telah mencapai jhana tingkat pertama (pathama-jhana), kemudian ia ingin mencapai jhana-jhana tingkat selanjutnya, maka ia harus mempunyai lima macam vasi.
Kelima macam vasi tersebut ialah :
  1. Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya.
  2. Samapajjana-vasi, yaitu keahlian dalam memasuki jhana.
  3. Adhitthana-vasi, yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama hendak berada dalam jhana.
  4. Vutthana-vasi, yaitu keahlian dalam ‘keluar’ dari jhana.
  5. Paccavekkhana-vasi, yaitu keahlian dalam meninjauan terhadap jhana.
10. ENAM MACAM ABHIÑÑA
Abhiñña berarti kemampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin.
Abhiñña akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana jhana tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan dasar untuk timbulnya abhiñña ini. Namun, hal ini juga tergantung pada kusala-kamma (perbuatan baik) dari kehidupan yang lampau. Mengenai obyek meditasi yang dapat menimbulkan abhiñña ialah hanya sepuluh kasina.
Abhiñña itu ada enam macam dan dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu abhiñña yang duniawi atau lokiya dan abhiñña yang di atas duniawi atau lokuttara.
Abhiñña yang duniawi (lokiya-abhiñña) terdiri atas lima macam, yaitu :
  1. Iddhividhañana, sering disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan magis atau kesaktian. Ini terbagi lagi atas beberapa macam, yaitu :
    1. Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi satu.
    2. Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk berubah bentuk, seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat diri menjadi tak tampak.
    3. Manomaya-iddhi, ialah kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, seperti menciptakan istana, taman, harimau, wanita cantik, dan lain-lain.
    4. Ñanavipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan.
    5. Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memencarkan melalui konsentrasi, yaitu :
      • Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung.
      • Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
      • Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
      • Kemampuan terbang di angkasa seperti burung.
      • Kemampuan melawan api.
      • Kemampuan menyentuk bulan dan matahari dengan tangannya.
      • Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.
  2. Dibbasotañana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam lain, yang jauh maupun yang dekat.
  3. Cetopariyañana atau paracittavijañana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain.
  4. Dibbacakkhuñana atau cutupapatañana (mata dewa), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing.
  5. Pubbenivasanussatiñana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.
Abhiñña yang di atas duniawi (lokuttara-abhiñña) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayañana, ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau arahat.
Perlu diingat bahwa tujuan umat Buddha bukanlah untuk mendapatkan kegaiban dan mujijat yang aneh-aneh dan luar biasa. Sang Buddha tidak membenarkan siswa-siswaNya melakukan sesuatu yang ajaib dan mujijat, karena perbuatan demikian itu tidak akan mempertinggi martabat mereka di mata orang lain. Lagipula kegaiban itu bukanlah merupakan hal yang penting dalam mencari kebebasan (Nibbana).
Vipassana Bhavana

1. EMPAT MACAM SATIPATTHANA
Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan). Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku).
Pancakkhandha (lima kelompok faktor kehidupan) terdiri atas :
rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok perasaan), sañña-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok bentuk pikiran), dan viññana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya, yang disebut pancakkhandha itu adalah makhluk.
Empat macam satipatthana (empat macam perenungan) terdiri atas :
kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani), vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran), dan Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).
Empat macam satipatthana itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa itu sendiri. Kaya nupassana adalah rupa-khandha. Vedana-nupassana adalah vedana-khandha. Citta-nupassana adalah Viññana-khandha. Dhamma-nupassana adalah pancakkhandha.
Sesungguhnya, yang akan berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian yang tajam dan kesadaran yang kuat.
  1. Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
    Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati (menyadari keluar dan masuknya napas). Dalam anapanasati ini, tidak ada tekanan atau paksaan pada pernapasan. Panjang atau pendeknya pernapasan harus disadari, tetapi tidak dibuat-buat atau sengaja diatur. Jadi, bernapas secara biasa dan wajar.
    Walaupun menurut kebiasaan , kesadaran terhadap pernapasan itu pada tingkat permulaan dianggap sebagai obyek untuk meditasi ketenangan (Samatha Bhavana), yaitu untuk mengembangkan jhana-jhana, ia juga sangat berguna untuk mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana Bhavana). Dalam pernapasan, yang dipakai sebagai suatu obyek perhatian murni, naik turunnya gelombang kehidupan yang tidak kekal, yang timbul tenggelam ini, dapat disadari dengan mudah.
    Cara meditasi lain yang penting, praktis, dan berguna ialah sadar dan waspada terhadap segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, sewaktu membungkukkan dan melencangkan badan, sewaktu melihat ke muka dan ke belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, ketika buang kotoran dan kencing, ketika berbicara atau berdiam diri.
    Di sini tidak dijalankan penyiksaan badan jasmani dengan maksud untuk mengendalikan badan. Tetapi dipergunakan jalan tengah yang sederhana, dengan menyadari timbul dan tenggelamnya bentuk kehidupan setiap saat.
  2. Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan).
    Di sini direnungkan perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik perasaan senang, perasaan tidak senang, maupun perasaan yang acuh tak acuh. Direnungkan keadaan perasaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul, berlangsung, dan kemudian lenyap kembali.
    Perasaan harus dikendalikan oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi dengan tepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia ini.
  3. Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran).
    Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran sedang dihinggapi hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka hal itu harus disadari.
    Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup pada saat ini. Masalah-masalah yang telah lewat atau hal-hal yang akan datang tidak boleh dipikirkan pada saat ini. Betapa banyak tenaga yang terbuang dengan percuma karena melamunkan keadaan-keadaan yang telah lalu dan mengkhayalkan keadaan yang akan datang. Jadi, keadaan pikiran yang sebenarnya harus diamat-amati, agar batin menjadi bebas dan tidak terikat.
  4. Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).
    Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua belas ayatana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga), dan direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani).
    Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana) ialah bahwa apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul nafsu keinginan, kemauan jahat, kemalasan dan kelelahan, kegelisahan dan kekhawatiran, atau keragu-raguan, maka hal itu harus disadari. Demikian pula apabila nivarana itu tidak ada di dalam dirinya, maka hal itu pun harus disadari. Ia tahu bagaimana bentuk-bentuk pikiran itu datang dan timbul. Ia tahu bagaimana sekali timbul, bentuk-bentuk pikiran itu ditaklukkan. Ia tahu bahwa sekali ditaklukkan, bentuk-bentuk pikiran itu tidak akan timbul lagi kemudian.
    Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha) ialah dengan menyadari bahwa inilah bentuk jasmani, inilah perasaan, inilah pencerapan, inilah bentuk pikiran, inilah kesadaran. Ia tahu bagaimana caranya timbul dan bagaimana caranya lenyap.
    Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua bleas ayatana) ialah dengan menyadari bahwa inilah mata dan obyek bentuk, inilah telinga dan obyek suara, inilah hidung dan obyek bau, inilah lidah dan obyek kecapan, inilah badan dan obyek sentuhan, inilah pikiran dan obyek pikiran. Ia tahu akan belenggu-belenggu yang timbul dalam hubungan dengan semua itu. Ia tahu bagaimana cara menaklukkan belenggu-belenggu itu. Ia tahu bagaimana caranya supaya belenggu yang telah dibuang itu tidak timbul lagi kemudian.
    Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga) ialah apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul kesadaran (sati), penyelidikan Dhamma yang mendalam (Dhamma-Vicaya), tenaga (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), pemusatan pikiran (samadhi), atau keseimbangan (upekkha), maka hal itu harus disadari. Ia tahu bilamana keadaan-keadaan ini tidak ada di dalam dirinya. Ia tahu bagaimana cara timbulnya, dan bagaimana cara mengembangkannya dengan sempurna.
    Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) ialah dengan menyadari berdasarkan kesunyataan bahwa inilah penderitaan, inilah asal mula dari penderitaan, inilah pemadaman dari penderitaan, inilah jalan menuju pemadaman dari penderitaan. Ia merenungkan masalah-masalah yang timbul dan hancur dari bentuk-bentuk pikiran. Akhirnya, ia hidup bebas tanpa ikatan dalam dunia ini.
2. SEPULUH MACAM VIPASSANUPAKILESA
Vipassanupakilesa berarti kekotoran batin atau rintangan yang menghambat perkembangan Pandangan Terang, di dalam melaksanakan Vipassana Bhavana.
Vipassanupakilesa ini ada sepuluh macam, yaitu :
  1. Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuk dan keadaannya bermacam-macam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang menyenangkan.
  2. Piti, ialah kegiuran, yang merupakan perasaan yang nyaman dan nikmat. Piti ini ada lima macam menurut keadaannya, yaitu :
    1. Khudaka Piti, ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya seperti bulu badan yang terangkat atau merinding.
    2. Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakkan badan.
    3. Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh, yang suasananya meriang di seluruh badan, seperti ombak laut memecah di pantai.
    4. Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang suasananya seolah-olah mengangkat badan naik ke udara.
    5. Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan, yang suasananya seluruh badan seperti terserap oleh perasaan yang menakjubkan.
  3. Passadi, ialah ketenangan batin, yang seolah-olah orang telah mencapai penerangan sejati.
  4. Sukha, ialah perasaan yang berbahagia, yang seolah-olah orang telah bebas dari penderitaan.
  5. Saddha, ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap orang juga seperti dirinya.
  6. Paggaha, ialah usaha yang terlalu giat, yang lebih daripada semestinya.
  7. Upatthana, ialah ingatan yang tajam, yang sering timbul dan mengganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang ini.
  8. Ñana, ialah pengetahuan yang sering timbul dan mengganggu jalannya praktek meditasi.
  9. Upekkha, ialah keseimbangan batin, dimana pikiran tidak mau bergerak untuk menyadari proses-proses yang timbul
  10. Nikanti, ialah perasaan puas terhadap obyek-obyek.
Sepuluh macam vipassanupakilesa ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-Ñana, yaitu ñana yang ketiga.
3. EMPAT MACAM VIPALLASA-DHAMMA
Vipallasa-Dhamma berarti kekhayalan, atau kepalsuan, atau kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vipallasa-Dhamma ini ada empat macam dan dapat dibasmi dengan melaksanakan empat macam Satipatthana.
Keempat macam Vipallasa-Dhamma itu ialah :
  1. Subha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik. Subha-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan kaya-nupassana.
  2. Sukha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang derita sebagai bahagia. Sukha_Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan vedana-nupassana.
  3. Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal. Nicca-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan citta-nupassana.
  4. Atta-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku. Atta-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan Dhamma-nupassana.
4. ENAM BELAS MACAM ÑANA
Ñana berarti pengetahuan. Apabila orang tekun melaksanakan Vipassana Bhavana, maka akan berkembanglah ñana di dalam dirinya. Ñana itu ada enam belas macam, yaitu :
  1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana, ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (batin) dan rupa (materi).
  2. Paccaya Pariggaha Ñana, ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa.
  3. Sammasana Ñana, ialah pengetahuan yang menunjukkan nama dan rupa sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), anatta (tanpa aku).
  4. Udayabbaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai timbul dan lenyapnya nama dan rupa.
  5. Bhanga Ñana, ialah pengetahuan mengenai peleburan/pelenyapan nama dan rupa.
  6. Bhaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
  7. Adinava Ñana, ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
  8. Nibbida Ñana, ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.
  9. Muncitukamyata Ñana, ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan.
  10. Patisankha Ñana, ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan yang menuju kebebasan, yang menimbulkan keputusan untuk berlatih terus dengan bersemangat.
  11. Sankharupekkha Ñana, ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan.
  12. Anuloma Ñana, ialah pengetahuan mengenai penyesuaian diri dengan Ariya-Sacca (Empat Kesunyataan Mulia), sebagai persiapan untuk memasuki magga (Jalan), mencapai phala (hasil) dari magga itu, dan mendekati Nirvana, dengan melalui anicca, dukkha, dan anatta.
  13. Gotrabhu Ñana, ialah pengetahuan mengenai pemotongan atau pemutusan keadaan duniawi, dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran.
  14. Magga Ñana, ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa atau kekotoran batin telah dilenyapkan.
  15. Phala Ñana, ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai obyek batinnya.
  16. Paccavekkhana Ñana, ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa atau kekotoran batin yang masih ada.
Enam belas macam ñana tersebut di atas diuraikan agak terperinci seperti di bawah ini.
  1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana
    Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat membedakan nama dari rupa dan rupa dari nama. Umpamanya, dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, naik dan turunnya rongga perut ketika bernapas adalah rupa, sedangkan pikiran yang mengetahui proses itu adalah nama. Gerakan kaki ketika berjalan adalah rupa, sedangkan kesadaran terhadapa hal itu adalah nama.
    Mengenai membedakan nama dan rupa yang berkenaan dengan panca-indera, dapat dijelaskan sebagai berikut :
    1. Dalam melihat bentuk atau warna, bentuk atau warna itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
    2. Dalam mendengar bunyi, bunyi itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
    3. Dalam mencium bau, bau itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
    4. Dalam mencicipi sesuatu, rasa itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
    5. Dalam menyentuh suatu benda yang dingin, panas, keras, atau lunak, benda itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
  2. Jadi, kesimpulannya ialah bahwa seluruh badan ini adalah rupa, dan pikiran adalah nama. Yang ada hanya rupa dan nama. Tak ada sesuatu yang disebut makhluk, tak ada pribadi, aku, dia, dan lain-lainnya.
  3. Paccaya Pariggaha Ñana
    Dalam beberapa hal, rupa merupakan sebab, dan nama merupakan akibat. Jadi, kalau rongga perut naik, maka kesadaran akan mengikutinya. Namun, dalam hal lain, nama merupakan sebab, dan rupa merupakan akibat. Jadi, kalau pikiran bergerak, maka gerak jasmani akan mengikutinya. Keinginan duduk merupakan sebab, dan duduk adalah akibatnya.
    Rongga perut mungkin naik, tetapi tidak ada turun. Rongga perut mungkin turun dengan keras dan tinggal diam dalam keadaan itu. Naik turunnya rongga perut hilang, tetapi kalau dirasakan dengan tangan, proses itu masih tetap ada.
    Sewaktu-waktu ada perasaan yang sangat tertekan dan kadang-kadang agak kurang, atau merasa diri tidak berhasil. Sering diganggu oleh pemandangan atau khayalan, seperti binatang liar, gunung-gunung, dan lain-lain.
    Naik turunnya perut dan bekerjanya proses kesadaran itu berlangsung dengan teratur. Kadang-kadang orang dapat terkejut, bergoyang ke muka atau ke belakang. Akhirnya, orang dapat merasakan bahwa kehidupan yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang hanya terbentuk dari rangkaian sebab dan akibat, dan hanya terdiri atas nama dan rupa.
  4. Sammasana Ñana
    Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat merasakan nama dan rupa melalui panca-indera sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu, Anicca (ketidak-kekalan), Dukkha (derita), dan Anatta (tanpa aku).
    Gerak naiknya perut dan gerak turunnya perut ada tiga bagian, yaitu upada (terjadi), thiti (berlangsung), dan bhanga (lenyap). Naik turunnya perut dapat lenyap sebentar atau dalam waktu yang lama. Pernapasan dapat berlangsung cepat, pelan, halus, atau tertahan.
    Timbul perasaan tertekan, yang hanya dapat lenyap setelah disadari beberapa kali dengan perlahan-lahan. Pikiran menjadi kacau, yang memperlihatkan adanya kesadaran terhadap Tilakkhana itu.
  5. Udayabbaya Ñana
    Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat menyadari bahwa gerakan naik turunnya perut itu terdiri atas dua, tiga, empat, lima, atau enam tingkat.
    Naik dan turunnya perut lenyap berselang-seling. Berbagai perasaan lenyap setelah disadari beberapa kali. Terlihat cahaya yang terang, seperti lampu listrik.
    Permulaan dan pengakhiran dari gerakan naik turunnya perut lebih terasa. Akhirnya, orang akan merasakan bahwa ketika pernapasan berhenti pada waktu beristirahat yang berulang-ulang, badan seperti jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, atau terbang dengan pesawat terbang, atau naik dengan lift, tetapi sebenarnya badan masih tetap diam dan tak bergerak.
  6. Bhanga Ñana
    Pengakhiran dari gerak naik turunnya perut lebih terasa. Naik turunnya perut terasa samar-samar, terasa lenyap, dan kadang-kadang terasa tidak ada apa-apa.
    Gerakan naik turun dan kesadaran/pikiran (citta) terasa seolah-olah lenyap. Pertama-tama, rupa (materi/jasmani) yang mengendap, tetapi citta masih bergema. Kemudian, gerakan naik turun segera lenyap, demikian pula kesadarannya. Jadi, citta dan obyeknya lenyap bersama-sama.
    Terasa panas seluruh badan. Terasa diri seperti ditutupi dengan jaring. Segala sesuatu kelihatannya seolah-olah dalam suasana yang penuh kesuraman, sangat kabur, dan remang-remang. Kalau melihat pada langit, seolah-olah ada getaran-getaran di udara. Gerakan naik dan turun sekonyong-konyong berhenti dan sekonyong-konyong timbul lagi.
  7. Bhaya Ñana
    Timbul perasaan takut, tetapi tidak seperti takut ketika melihat hantu atau setan. Tidak merasa bahagia, senang, gembira, atau nikmat. Terasa sakit pada urat-urat syaraf, terutama pada waktu berjalan atau berdiri.
    Terdapat bahaya dari perubahan-perubahan yang terus menerus di dalam semua bentuk kehidupan. Semua bagian dari benda-benda ini menakutkan. Nama dan rupa yang dianggap sebagai sesuatu yang bagus atau indah, sebenarnya tidak mempunyai inti-sari, dan kosong sama sekali. Setelah nama dan rupa lenyap, tidak ada lagi yang menimbulkan rasa takut.
  8. Adinava Ñana
    Gerakan naik turun menghilang sedikit demi sedikit, dan kelihatannya hanya samar-samar dan suram. Nama dan rupa muncul dengan cepatnya, tetapi dapat juga disadari.
    Diri terasa buruk, jelek, dan membosankan. Semua bentuk batin dan fisik menyedihkan.
  9. Nibbida Ñana
    Semua obyek kelihatan membosankan dan jelek. Terasa seperti malas, tetapi kemampuan untuk mengenal atau menyadari sesuatu masih berjalan dengan baik. Tak ada keinginan untuk bertemu atau bercakap-cakap dengan orang lain, dan lebih senang tinggal di kamar sendiri saja.
    Orang merasa bahwa keinginan-keinginan atau cita-citanya yang dahulu, seperti kemasyhuran, kemewahan, kemegahan, dan lain-lainnya tidak lagi merupakan kesenangan dan kegembiraan, bahkan berubah menjadi kebosanan setelah menyadari sendiri bahwa manusia itu tercengkeram dan terseret ke dalam kelapukan. Semua manusia dan makhluk lain, bahkan para dewa dan para brahma tidak ada yang terkecuali semasih diliputi oleh bentuk-bentuk ini, di mana masih ada kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian, dan tidak terdapat perasaan kenikmatan yang sejati. Kebosanan timbul sebagai dorongan yang keras untuk mencari Nibbana.
  10. Muncitukamyata Ñana
    Seluruh badan merasa gatal, seperti digigit-gigit semut, atau seperti ada binatang kecil yang merayap pada muka dan badan. Terasa kurang senang, gelisah dan bosan. Ada keinginan pergi dan menghentikan latihan meditasinya. Ada pula yang ingin pulang karena merasa bahwa paramitanya atau perbuatan-perbuatan baiknya belum cukup kuat.
  11. Patisankha Ñana
    Terasa ditusuk-tusuk di bawah kulit dengan benda-benda tajam di seluruh badan. Timbul bermacam-macam perasaan yang mengganggu, tetapi setelah disadari dua atau tiga kali, semua itu menjadi lenyap. Terasa mengantuk. Badan menjadi kaku, tetapi pikiran masih aktif dan pendengaran masih bekerja. Badan terasa seperti ditindih batu atau kayu. Seluruh badan terasa panas. Muncul perasaan tak senang.
  12. Sankharupekkha Ñana
    Tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan senang, tetapi agak seperti acuh tak acuh. Naik turunnya perut hanya disadari sebagai nama dan rupa saja. Tidak ada perasaan gembira atau perasaan sedih, tetapi pikiran dan kesadaran pada saat itu tetap terang.
    Ingatan, pengenalan, atau kesadaran tidak mengalami kesukaran-kesukaran.Konsentrasi pikiran berjalan baik, tetap tenang dan halus dalam jangka waktu yang lama, seperti sebuah mobil yang berjalan di atas jalan yang datar dan rata. Ada perasaan puas dan mungkin lupa dengan waktu. Samadhi atau konsentrasi menjadi kuat dan lekat, seperti adonan tepung yang diremas-remas oleh tukang roti yang pandai.
    Dapat dikatakan bahwa penyadaran dan pengenalan di dalam nama ini berlangsung dengan mudah dan memuaskan. Orang mungkin dapat lupa dengan waktu yang telah dilewatinya dalam latihan itu. Mungkin ia telah duduk selama satu jam atau lebih, padahal mulanya ia ingin bermeditasi hanya 30 menit saja.
  13. Anuloma Ñana
    Di sini Anuloma Ñana diuraikan dalam bentuk Tilakkhana (anicca, dukkha, anatta) sebagai berikut :
    1. Anicca : orang yang biasa melatih diri dalam kebersihan atau kesucian dan sila-sila akan mencapai magga melalui perenungan tentang anicca. Gerakan naik turun perut menjadi cepat, tetapi sekonyong-konyong berhenti. Ia menyadari atau mengetahui dengan terang tentang gerakan naik turun itu yang berhenti, menyadari sikap duduk atau sentuhan-sentuhan badannya dengan jelas. Keadaan pernapasan yang cepat itu adalah corak anicca, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya pernapasan ini adalah anuloma-ñana, tetapi janganlah hendaknya ragu-ragu atau dipikir-pikirkan. Proses berhenti ini harus disadari dengan nyata.
    2. Dukkha : Orang yang biasa melatih diri dalam Samatha (meditasi ketenangan) akan mencapai magga melalui perenungan tentang dukkha. Kalau ia berlatih menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka hal itu akan terhalang. Kalau ia terus melanjutkan menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka terjadilah proses berhenti. Keadaan pernapasan yang terhalang itu adalah corak dari dukkha, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.
    3. Anatta : Orang yang biasa melatih diri dalam Vipassana (meditasi pandangan terang), atau senang dengan Vipassana dalam kehidupannya yang dulu-dulu, akan mencapai magga melalui perenungan tentang anatta. Jadi, naik turunnya perut menjadi tenang dan teratur, jangka waktu dari gerakan naik dan gerakan turun sama, dan kemudian berhenti. Gerak naik turunnya perut, atau sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan kelihatan dengan terang. Keadaan pernapasan yang halus dan teratur itu adalah corak dari anatta, dan pengenalan atau kesadaran yang terang terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.
  14. Gotrabhu Ñana
    Nama-rupa bersama-sama dengan citta (pikiran) yang mengetahui proses berhenti itu menjadi diam, tenang, aman, dan damai. Ini berarti bahwa orang telah mendapat penerangan dengan nibbana sebagai obyeknya. Jadi, kalau pencerapan mulai pecah dan lenyap, maka gotrabhu-ñana tercapai.
  15. Magga Ñana
    Magga timbul langsung pada saat perasaann pecah dan pencerapan kilesa hancur akibat dari putusnya belenggu-belenggu, seperti Sakayaditthi (kekhayalan dari aku), Vicikiccha (keragu-raguan), Silabbataparamasa (ketahyulan tentang upacara).
  16. Phala Ñana
    Phala-ñana adalah hasil dari magga, yang muncul langsung setelah timbulnya magga-ñana. Dalam beberapa saat, dua atau tiga saat, yang menjadi obyek phala-citta adalah nibbana. Ñana ini bersifat lokuttara.
  17. Paccavekkhana Ñana
    Paccavekkhana-Ñana terdiri atas pertimbangan-pertimbangan mengenai masih adanya kilesa (kekotoran batin). Dalam hal ini terdapat lima macam pertimbangan sebagai berikut :
    1. Pertimbangan mengenai magga, yang berarti bahwa kita telah tiba pada magga ini.
    2. Pertimbangan mengenai phala, yang berarti bahwa kita telah mencapai phala atau hasil ini.
    3. Pertimbangan mengenai kilesa yang telah dihancurkan, yang berarti kita telah menghancurkan semua kilesa.
    4. Pertimbangan mengenai kilesa yang belum dihancurkan, yang berarti kita masih memiliki kilesa.
    5. Pertimbangan mengenai nibbana, yang berarti bahwa Dhamma tertentu telah kita capai untuk menuju ke Nibbana sebagai obyek pikiran.
Demikian proses tersebut dapat timbul di dalam diri seseorang dan dapat
disadari dengan seksama, jika orang melaksanakan Vipassana Bhavana.